Senin, 16 Agustus 2010

ayat-ayat derita

ayat-ayat derita

oleh Fawaid Sulaiman pada 08 Agustus 2010 jam 2:28
menelusurimu
dari rel bengkok sampai stasiun sana
kerlingan baja mengadu membawa suara
riuh dendang duka bersama terpaksa

ku dzikirkanmu
dari basmalah
mengeja makna pada setiap helai abjadnya
terpelanting, terpental, tengkurap
bangkit, menatap, meratap
purna dalam bingkai hamdalah

kutafakkurimu
bersama desir pantai
deru angin menyapoa samudera
mengibas pasir yang berdesir
mengukir cerita derita
antara kau dan dia

ah hidup nan patah
pecah kaca cinta
bersuara nyaring
merengkuhnya dalam abjadabjad tua
harapan lusuh

membingkai ceritamu
dalam minuman botol
melemparnya pada samudera.

Lombang, 2010.

Sabtu, 03 Juli 2010

PERLUKAH KHILAFAH? SOLUSI ATAU MASALAH?

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada dasarnya, Islam lahir sebagai upaya korektif terhadap sejarah yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Penyimpangan tersebut kemudian melahirkan istilah dehumanisasi yang dalam istilah Al-Quran dikatakan sebagai “proses kemusyrikan” (Abdurrahman Moeslim, 2005). Dehumanisasi yang diusung dalam pesan Al-Quran tersebut merupakan kritik terhadap hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, peradaban dan kebudayaan pada masa itu, proses dehumanisasi tersebut telah mengarahkan manusia kepada dunia hampa nilai dan tak berperadaban. Pada kondisi seperti itulah Islam hadir untuk mengoreksi, mengkaji, dan mencari solusi sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Dari penjelasan tersebut, sangat tampak bahwa Islam bukanlah agama Formalis, strukturalis, atau syimbolis yang sangat menyukai ritual sebagai usaha untuk menunjukkan keberagamaan, lebih dari itu, Islam adalah agama nilai, agama yang inklusif dan menyimpan seluruh substansi kehidupan, perjuangan untuk memperbaiki nilai-nilai kemanusiaan yang telah didistorsi oleh sejarah merupakan petunjuk bahwa Islam adalah agama yang mengusung misi nilai dan bukan ritual, karena kecanduan terhadap ibadah ritual yang spekulatif akan membuat sifat-sifat egois melanda manusia, dan ketika manusia sudah melupakan misinya sebagai manusia dan penganut agama, yaitu sebagai pejuang untuk mewujudkan keadilan maka saat itulah akhir dari perjuangan Islam itu sendiri.

Pemahaman terhadap rahmatan lil alamin juga merupakan landasan kenapa Islam harus senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, melupakan ibadah ritual kepada Tuhan merupakan dosa personal manusia dengan Tuhan, namun melupakan ibadah memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan demi mewujudkan kehidupan yang berkeadilan merupakan dosa kolektif manusia, tidak hanya pada Tuhan namun juga dosa kepada manusia lain yang menderita secara sosial, oleh karena itu, orang yang senantiasa bahagia dengan ibadah ritualitas simbolik spekulatif belum tentu memahami keberagamaan yang kaffah.

Selanjuitnya, Misi-misi kemanusiaan tersebut akan membawa manusia untuk saling berusaha mencapai kehidupan yang berkeadilan, kehidupan yang dipenuhi dengan ketenteraman, upaya mencapai masyarakat yang berkeadilan tersebut sebenarnya merupakan tujuan akhir dari misi kemanusiaan itu sendiri, ketika seluruh manusia menyadari pentingnya menghormati nilai kemanusiaan yang dimilikinya dan juga dimiliki orang lain maka pada saat itulah sebenarnya masyarakat yang berkeadilan akan dicapai. Namun ketika misi ini dikaitkan dengan persoalan negara, maka misi ini juga menjadi rumit dan spesifik, kerumitan ini terletak pada kompleksitas dari persoalan keummatan dan kebangsaan yang kadang memaksa umat untuk berfikir menjadikan Islam sebagai Ideologi agar nilai-nilai yang terkandung dalam islam bisa ditransformasikan ke dalam negara, namun apakah usaha ini benar? Bukankah Islam adalah prinsip universal? Islam adalah rahmatan lil alamin? Lalu dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara bukankah akan menyempitkan ajaran Islam itu sendiri, bukankah lebih baik membumikan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam sebagai sistem nilai bagi tingkah laku manusia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Islam, sebagai ideologi atau sebagai sistem nilai bangsa Indonesia?

2. Bagaimanakah upaya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadilan?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam, antara Ideologi dan Sistem Nilai

Munculnya perdebatan yang seru soal dasar negara, apakah berdasarkan Islam atau Pancasila, di tanah air. Jelas, hal ini tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Indonesia itu sendiri, sejarah umat Islam juga ikut menentukan terhadap hubungan negara dengan Agama. Penggunaan Pancasila dengan total sebenarnya telah cukup membuat negara Indonesia ini mempunyai identitas religius yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti kata Amien Rais (1981) dalam (Abdurrahman Moeslim, 2005) “akan sudah berbahagia kalau Pancasila yang indah itu benar-benar dipraktekkan secara konsisten. Dengan demikian sudah berarti sebagian ajaran Islam dijalankan.”

Rekonstruksi peran Islam bagi negara memang sangat penting, akan tetapi tetap mempertahankan keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dapat dikatakan kurang bijaksana. Kemungkinan besar -apabila negara ini menggunakan dasar Islam- akan terjadi semacam polemik kebangsaan dan kemasyarakatan, karena bagaimanapun harus diakui bahwa sampai saat ini banyak yang alergi terhadap istilah Islamic State. Penggunaan negara Islam itu juga akan berdampak besar bagi umat Islam itu sendiri, siapkah mereka menjadikan Syariat Islam sebagai dasar negara yang tentunya menuntut konsistensi dari umat Islam, atau malah hanya akan menjadi formalitas kosong belaka yang tentunya akan menambah derita umat Islam secara umum, ditertawakan oleh Barat.

Akhir-akhir ini, isu “negara Islam” memang tidak mengeras lagi, misalnya saja dibandingkan sewaktu Revolusi Islam di Iran baru muncul. Dan kini, isu tersebut telah bergeser menjadi perlunya soal penerapan Syari’at Islam. Jika dalam pemilu pertama, isu “negara Islam” ini mencuat, ternyata dalam pemilu 2004 yang lalu, mengenai syariat ini tidak terlalu santer (Moeslim Abdurrahman, 2005). Partai Keadilan Sejahtera yang mayoritas pendukungnya adalah pemuda-pemuda Islam Militan yang mulanya berasal dari jaringan kampus-kampus, mereka populer dan menang secara mencolok di Jakarta (Hasil Pemilu, 2004) tentu bukanlah karena mengangkat tema “negara Islam” atau Syari’at, namun karena kedekatannya dengan perasaan dan penderitaan yang dialami sehari-hari oleh mereka di kalangan kaum mustadh’afin.

Inilah realitas objektif yang kadang-kadang amat rumit untuk ditebak bagaimana hubungan antara retorik dengan konteks sejarahnya. Tokoh-tokoh masyumi yang merupakan bagian dari lapisan intelektual barat, memperjuangkan demokrasi melalui jargon Islam, sementara beberapa tokoh darul Islam memperjuangkan kepentingan politik daerahnya melawan pusat kekuasaan di jaman Soekarno juga mengatas namakan “negara Islam” (Hassan Hanafi, 2001),

Umat Islam sebagai kelompok mayoritas (87 persen) di Indonesia memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan masyarakat madani yang kuat. Ormas-ormas keagamaan dapat melakukan ekspansi aktivitasnya, tidak hanya di bidang sosial keagamaan, tetapi juga dalam hal peningkatan ekonomi dan advokasi masyarakat lemah. Sementara itu, sebagai sebuah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia tidak mungkin melaksanakan sistem demokrasi sepenuhnya ala Barat. Oleh karena itu, upaya penyesuaian sistem demokrasi sesuai dengan filosofi dan budaya Indonesia tak dapat dielakkan.

Namun, upaya-upaya penyesuaian ini seharusnya tidak dimaksudkan untuk kepentingan politik penguasa, melainkan untuk mendekatkan konsep demokrasi ini dengan filosofi dan budaya Indonesia yang tak dapat dipisahkan sepenuhnya dengan ajaran Islam. Tentu saja ajaran Islam yang dipahami sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmat li al-'alamin) tanpa diskriminasi. Demikian pula, adalah logis jika dilakukan penyesuaian konsep masyarakat madani sesuai dengan kondisi di Indonesia. Namun hal ini seharusnya tidak lepas dari konsep orisinalnya, sebagai wujud kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara.

Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika Islam dipahami sebagai sistem Nilai oleh umatnya, semua tingkah laku masyarakat senantiasa berpegang teguh terhadap nilai-nilai reliigiusitas humanis, sehingga ada upaya untuk menjembatani kondisi realita dengan idealita yang selama ini memang sangat senjang. Dengan adanya upaya untuk mengatasi kesenjangan tersebut, secara lambat laun konsep masyarakat berkeadilan juga akan tercapai, karena pada dasarnya, masyarakat berkeadilan adalah masyarakat yang memiliki kesadaran akan nilai fitrah keberagamaan, substansi kemanusiaan dan esensi kehidupan.

B. Upaya untuk Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Berkeadilan

Sejarah menunjukkan bahwa Masyarakat Indonesia selalu berada dalam lingkaran ketidak adilan, sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia belum pernah sekalipun memberikan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang merata kepada masyarakatnya. Sebaliknya, kesenjangan malah semakin meraja lela, yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya. Pemerintah yang dalam hal ini paling bertanggung-jawab terhadap terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sudah kehilangan kata-kata apologi untuk menutupi kegagalan dalam mengemban tugas sebagai pejuang hak-hak masyarakat.

Jika mau jujur, penyebab dari gagalnya upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadilan selama ini adalah lemahnya pemahaman masyarakat (Pemerintah, Rakyat, pengusaha dll) terhadap nilai-nilai religiusitas substantive yang menjadi misi mulia agama, sehingga terciptalah kehidupan yang dipenuhi dengan budaya tak beradab, kehidupan hampa nilai, dehumanisasi, budaya eksploitasi, tak berperikemanusiaan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Begitu berartinya pemahaman terhadap nilai esensial agama sehingga interpretasi yang benar terhadap fenomena, pegangan nilai serta dinamika agama sangat dibutuhkan demi ditemukannya konsep ideal untuk dipakai sebagai media mencapai masyarakat yang berkeadilan.

Selanjutnya, dilihat dari aspek kebutuhan masyarakat serta dinamika problematis yang melanda masyarakat, maka terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendekatkan kondisi realita masyarakat Indoensia kepada idealita Masyarakat berkeadilan yang merupakan cita-cita utopis kita selama ini. Pertama, internalisasi pemahan keberagamaan yang universal. (Hanafi Hassan, 93, 2001) Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah bukan sibuk membahas agama apakah yang paling benar? atau yang lebih ekstrim lagi, aliran apakah yang paling benar dalam satu agama? Akan tetapi bagaimanakah keberagamaan yang paling benar dan paling bermanfaat bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain? Persoalan inilah sebenarnya yang harus dicari solusinya, apakah keberagamaan kita selama ini sudah sesuai dengan sujbstansi ajaran agama Islam? Jika ia, dimanakah letak substansi keberagamaan kita tersebut? Kenapa selama ini manusia senantiasa memikirkan diri sendiri dan cenderung melupakan orang lain? Pertanyaan ini hanya bisa di jawab ketika nilai-nilai substansi Islam sudah terinternalisasikan ke dalam hati dan prinsip umat. Dari permasalahan tersebut yang kita butuhkan adalah tafsir Islam yang berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan romantis tanpa peka terhadap mata rantai kekuasaan yang eksploitatif. Selama ini, Islamisasi yang terjadi pada kalangan kelas masyakat menengah lebih cenderung terhadap pembentukan kesalehan, kemoderenan dan gaya hidup. (Abdurrahman Moeslim, 2005), mereka menganggap bahwa bentuk kesalehan adalah dengan ritual keagamaan seperti solat, sedekah dll, bahkan pada era moderen sekarang ini, mereka lebih suka bersedekah di dalam televisi, menangis ketika di sorot kamera, inilah islamisasi yang melanda bangsa Indonesia sekarang ini. Sedangkan pemahaman keberagamaan yang saya maksud bukanlah islamisasi seperti itu, akan tetapi adalah Islamisasi yang memunculkan daya kritis terhadap fenomena dan masalah-masalah sosial sehingga muncul rasa keberagamaan yang berpihak, yaitu berpihak pada nasib orang-orang yang menderita secara sosial.

Kedua, perlunya pemahaman dan pemaknaan Tauhid Sosial. Abdurrahman Moeslim (2005) menjelaskan bahwa Tauhid Sosial merupakan bagian dari perspektif Islam yang inklusif, di dalamnya terdapat usaha untuk memahami multiculturalism dan pluralism total. Pemahaman terhadap Tauhid Sosial sebenarnya terletak pada pengakuan untuk menghormati pluralitas sosial sebagai imbas dari multikulturalisme bangsa Indonesia. Jika tauhid sosial ini bisa dipahami, maka secara otomatis, kehidupan saling menghormati dan memahami khilafah personal golongan akan tercipta dan melanggengkan kereta usaha untuk mencapai masyarakat yang berkeadialan. Pemahaman terhadap tauhid sosial juga akan melahirkan the new social movement yang membawa misi-misi kemanusiaan untuk melawan budaya eksploitatif dan kapitalistik demi mewujudkan kehidupan berbudaya dan berperadaban yang berpegang teguh terhadap terciptanya dan terpeliharanya nilai-nila kemanusiaan. Maryarakat madani yang di ampuni dan di Ridhai oleh Allah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam merupakan prinsip kode etik Universal, kebebasan yang diberikan pada umatnya untuk melakukan interpretasi terhadap Islam sesuai dengan konteks kehidupan yang dihadapi umatnya memberikan peluang bahwa Islam dalam hal ini terkait dengan rahmatan lilalamin akan senantiasa relevan bahkan melebihi dinamika zaman. Pekanya Islam terhadap perkembangan zaman pada dasarnya, sangat tergantung pada kepekaan umatnya untuk melakukan analisis fenomena yang kemudian mengkaitkan dengan hasil interpretasi Islam dan kemudian menghasilkan konsep untuk menghadapi konflik kehidupan.

Oleh sebab itu, Islam bukan hanya sekedar Ideologi statis, melainkan sistem nilai yang senantiasa relevan mengikuti perkembangan zaman, merupakan pedoman kehidupan manusia dan tidak harus menjadi landasan sebuah negara, karena hal itu akan menyempitkan makna substansi Islam itu sendiri. Pemahaman terhadap Islam sebagai sistem nilai itu juga harus senantiasa dilakukan oleh umatnya, mengingat kesadaran beragama mutlak dilakukan untuk mendapatkan pemahaman keberagamaan yang benar dan baik sehingga implikasinya adalah terciptanya pribadi umat yang mempunyai idealisme nilai agama yang kuat.

Pemahaman terhadap keberagamaan yang benar tersebut pada akhirnya akan melahirkan keinginan untuk membentuk kehidupan yang berkeadilan, kemudian pemahaman terhadap nilai-nilai sosial kemanusiaan akan memberikan inspirasi untuk terus berjuang melawan ketidak adilan yang diciptakan oleh budaya eksploitatif dan budaya kapitalistik, sehingga pada akhirnya usaha tersebut melahirkan keberagamaan yang memihak, yaitu keberagamaan yang memahami terhadap pentingnya keadilan sosial bagi manusia tanpa harus memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan bahkan agama. Itulah sebenarnya maksud dari tauhid sosial sebagai upaya untuk meluruskan tauhid normative yang cenderung melahirkan budaya sukuisme atau juga budaya egoisme yang pada gilirannya akan melahirkan perang sosial antara manusia.

B. Saran-saran

Keberagamaan yang benar tidak sebatas romantisme ritual spekulatif tapi lebih dari itu, adalah langkah kongkrit untuk berpihak terhadap terwujudnya keadilan bagi orang-orang yang menderita secara sosial, di eksploitasi secara ekonomi, budaya dan bahkan di eksploitasi oleh pemahaman yang salah terhadapa agamanya sendiri, karena “berdustalah mereka yang hanya menikmati bersembahyang, namun melupakan nasib orang-orang yang tersingkirkan dan menderita secara sosial

Gebyar Hari Pahlawan

Tak ada yang bisa menggantikan keuletan, bakat juga tidak; orang berbakat yang tidak pernah sukses adalah hal yang lumrah. Kejeniusan juga tidak; orang pandai yang tidak memperoleh apa-apa sudah nyaris menjadi kata-kata mutiara. Pendidikan juga tidak; dunia sudah penuh dengan pengangguran berpendidikan. Keuletan dan keteguhanlah yang paling berkuasa. Slogan “PANTANG MENYERAH” telah dan selalu dapat memecahkan masalah yang dihadapi manusia.

Setiap 10 Nopember, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Pengkultusan tersebut dilakukan untuk menghormati peristiwa sacral yang terjadi 63 tahun yang lalu, tepatnya 10 Nopember 1945. saat itu terjadi pertempuran super hebat antara sebagian rakyat Indonesia dengan tentara sekutu dan NICA. Peristiwa itu berawal dari datangnya 6.000 pasukan sekutu pada tanggal 25 oktober di Surabaya yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Mallaby. Tujuannya tidak lain adalah untuk merebut kembali kekuasan Indonesia yang sudah beberapa bulan lepasa dari cengkraman Penjajah.

Niat belanda tersebut akhirnya diketahui oleh pihak Indonesia. Para pejuang pun akhirnya marah dan terjadilah pertempuran dhsyat 30 oktober di Surabaya. Mallaby tewas dalam pertempuran tersebut. Pengganti Mallaby, May Jend. Mansergh, memberi deadline hingga 10 Nopember kepada Indonesia untuk menyerah. Namun, para pejuang tidak gentar menghadapi ancaman tersebut, maka bergolaklah perang maha dahsyat yang terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945. beribu-ribu pejuang gugur di medan perang hanya karena satu tekad “Pantang Menyerah demi memberikan sesuatu bagi Indonesia

10 Nopember; antara syimbolis dan Values

Sudah lama sekali tragedy 10 Nopember tersebut terjadi, namun Alhamdulillah masih banyak orang yang mengingat dan bahkan menghormati Hari Pahlawan tersebut. Di jantung kota, di pelosok desa atau bahkan di setiap ruas ruang dinas pemerintah masih senantiasa mengingat 10 nopember sebagai hari yang bersejarah yaitu Hari Pahlawan. Namun sangat sedikit sekali masyarakat yang mengingat semangat 10 nopember. Masyarakat yang mampu menginternalisasikan spirit perjuangan untuk mengisi “ruang kosong” kemerdekaan ini.

Mayoritas masyarakat telah mengusung paradigma syimbolisme dalam menghayati Hari Pahlawan tersebut. Tidak ada refleksi intensif yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mengkaji, memahami dan menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam moment bersejarah itu. Mereka malah di sibukkan dengan upacara “ceremonial” dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.

Sepintas tidak ada yang salah dalam paradigma tersebut. Tidak ada keuntungan yang bisa kita dapatkan dengan mengingat hari pahlawan, toh hal itu juga tidak akan mengurangi atau bahkan menambah keagungan jasa para pahlawan di hadapan Tuhan. Namun dibalik itu semua, ada banyak hal yang seharusnya senantiasa menjadi tanggung jawab kita sebagai pemuda bangsa. Pertama, nilai spirit perjuangan pantang menyerah para pahlawan adalah sesuatu yang sangat berharga. Pahitnya situasi yang dihadapi oleh para pahlawan seharusnya menjadi objek komparasi bagi kita untuk membandingkan tantangan yang kita hadapi dengan tantangan zaman tempo dulu. 10 nopember 1945 merupan zaman kegelapan bagi Indonesia akibat dari kolonialisme. Namun, hari inipun, zaman new kolonialisme akan kembali muncul jika para pemuda bangsa tidak mampu mengusung semangat pantang menyerah untuk mengisi “ruang kosong” dalam rangka meneruskan perjuangan para pejuang dalam mempertahankan supremasi bangsa, membangun serta mengembangkan bangsa demi mewujudkan tatanan bangsa dan masyarakat yang madani.

Ketika Mahasiswa Menjadi “Pelacur Sosial”**

Ketika Mahasiswa Menjadi “Pelacur Sosial”**

Faid As- Sulaim*

SAPAKU I

Kamu tahu, aku bangga kepada Amerika, masyarakatnya hidup tenteram tanpa ada ketakutan yang menyusup ke benak mereka. orang-orang Amerika memiliki sifat dinamis dan progresif, bagi mereka, tiada hari tanpa berfikir. Di Indonesia? Ehm… tiada hari tanpa menelepon……..! entah hal apa yang dibicarakan ditelepon? Entah ada keperluan apa sampai harus menelepon, entah membicarakan apa sampai harus sering menelepon? entah merapatkan hal apa hingga harus berbicara ber jam-jam di telepon?

KUNCI I

Dunia berubah menjadi arena pembantaian, kekuatan di himpun untuk terus menjajah yang lemah. Strategi yang matang diatur agar penjajahan bisa dimainkan dengan cantik dan molek, secantik dan semolek salah satu Mahasiswi STKIP PGRI Sumenep yang memang menjadi buruan para Mahasiswa. Taktik diatur sedemikian rupa agar realitas penjajahan bisa tetap dikendalikan dan dikuasai oleh yang “kuat”. Ritme yang mereka mainkan untuk terus mengekploitasi kaum yang “lemah” merupakan kunci yang membuat pintu hati orang-orang yang “lemah” dengan tangan terbuka tanda persahabatan memeluk kaum “kuat” itu, meski sekujur tubuh orang yang “lemah” senantiasa diiris oleh belati tajam yang melingkar di tubuh orang yang “kuat”. Menghabisinya secara halus, perlahan-lahan, lembut sekali.

KUNCI II

Masyarakat Indonesia sudah terlalu “Pintar” untuk terus mempelajari fenomena kehidupan. Indonesia sudah terlalu “bijaksana” untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masyarakat mustadafin. Masyarakat Indonesia sudah terlalu “giat bekerja” sehingga mereka tidak ingin mendapatkan sesuatu dengan melalui proses dari A-Z atau dari 0-10 atau dari P-E, masyarakat Indonesia lebih menyukai yang instan, siap saji dan tidak usah bertele-tele. Namun aku tetap kagum pada orang Indonesia (meminjam bahasa Cak Nun), banyak orang di penjuru dunia ini yang menginginkan waktu lebih panjang dari biasanya agar mereka bisa menggunakan waktu itu untuk bekerja, semua itu mungkin di sebabkan mereka tidak pernah hidup tenang dan setenteram orang Indonesia, ya.. Orang Indonesia yang selalu santai dan tenang, tidak ada agenda yang mendesak, Indonesia tidak perlu diselamatkan. (terinspirasi dari bukunya Amin Rais dan mengalami perubahan redaksi).

KUNCI III

Pilar terpenting dari bangsa Indonesia adalah Mahasiswa. Tidak ada revolusi apapun tanpa peran Mahasiswa, dan tak ada kontra revolusi apapun tanpa peran Mahasiswa (kalimat ini diucapkan oleh orang asing). Mulai dari pertama kali menginjakkan kakinya di kampus, seorang mantan siswa akan menjadi MAHASISWA yang konon katanya adalah gelar sakral dan penuh dengan beban tanggung jawab. Predikat Mahasiswa akan membuat seseorang menjadi agen perubahan, pengontrol perubahan sosial, penyampai Ilmu dan lain sebagainya, intinya, Mahasiswa adalah “warasatul Ambiya’” Mahasiswa-lah yang akan menjadi nabi-nabi Sosial, seorang Intelektual yang senantiasa gelisah melihat ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat, di negara atau bahkan di dunia, yang selalu tergugah ketika keberagamaan yang mereka miliki tidak memihak, memihak kemana?

KUNCI IV

Sangat sulit bagi manusia untuk tidak mengulangi sejarahnya yang kelam, mencekam dan penuh dengan lumpur-lumpur dosa. (ini kata Bernard Shaw bukan kata saya). Dan Mahasiswa adalah manusia yang sangat sulit menjaga semangat dan idealismenya. sehingga ketika situasi mendesak, kondisi menghimpit, maka mereka akan segera mengadaikan atau bahkan menjual semangat, idealisme, etika atau bahkan moral mereka di “pasar anom baru”. Sehingga akhirnya mereka menjadi manusia amoral. Tidak berakhir sampai di sini, status Mahasiswa yang melekat dalam diri mereka yang idealnya adalah sebaga nabi-nabi sosial namun ketika content dari ke-MAHASISWA-annya telah digadaikan di “pegadaian Pamolokan” atau dijual di “pasar anom baru”, maka status mereka adalah “PELACUR-PELACUR SOSIAL” yang seumur hidupnya, akan selalu menjajakan moral dan etikanya. Pada akhirnya mereka akan lebih parah dari PSK-PSK yang berkeliaran di TB. Karena PSK hanya menjual miliknya sendiri, sedangkan MAHASISWA yang berevolusi menjadi pelacur-pelacur sosial, bisa menjual hak milik orang lain, kaum Mustadhafin, kaum yang tersingkir dan terpinggirkan.

Suara Kehidupan

31 Desember 2008 02. 22 WIB.

Untuk

Saudara-Saudaraku

di-

Panggung Kehidupan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Berawal dari sebuah kegelisahan yang senantiasa menyeruak dipinggir hatiku, sebuah refleksi evaluatif terhadap rekaman perjalanan hidupku selama satu tahun ini. Kegelisahan itu menggumpal dan mencapai klimaksnya di hari terakhir tahun 2008 ini, setiap detail pengembaraan 2008 ku tampak jelas tergambar di layar proyektor kehidupanku. Meringis rasanya ketika realita kehidupan yang Aku lihat ternyata dipenuhi dengan kesia-siaan belaka. Kejumudan, kegalauan sampai stagnasi pemikiran adalah hal lumrah yang senantiasa Aku lakukan, semua itu mewarnai setiap detik perjalanan hidupku. Kemudian Aku teringat dengan ungkapan I’tiraf “setiap hari umurku berkurang sedangkan dosaku selalu bertambah”. Ada kegamangan dan ketakutan yang Aku rasakan ketika menyibak tabir jejak langkah hidupku. Dosa, lupa dan kesalahan adalah siklus yang tidak pernah bisa Aku hindari.

Beberapa hari yang lalu Temanku pernah berkata, “manusia sangat dekat dengan keanehan, Tuhan telah memberikan waktu kepada kita untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, tapi kenyataannya kita malah berleha-leha dengan waktu, senantiasa bermesraan dengan waktu dan tidak pernah menseriusi waktu. Kehidupan yang identik dengan hura-hura telah menjadi kebiasaan yang telah melanggengkan stagnasi dan jumudisasi pemikiran. Tidak ada lagi aktivitas berfikir yang secara inten dan konsisten dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan, keagamaan serta daya kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Istilah XL nya, “nggak usah mikir”. Aku dan anda disuruh bodoh kali ya?

Potret 2008 yang telah Aku jalani ternyata hanya terisi dengan agenda statis yang tidak memuat nilai-nilai ke-ilmu-an. Pernahkah kita merasa bahwa selama ini kita hidup hanya berpengetahuan tapi tidak berilmu?. Aristoteles pernah membedakan definisi ilmu dengan pengetahuan. pengetahuan hanya sebatas persinggungan subjek dengan objek. sedangkan ilmu adalah pergesekan intensif, analitis, dan sistematis antara subjek dengan objek. Kita sebagai subjek kehidupan ternyata tidak pernah melakukan persenggamaan intensif dengan alam sebagai objek kehidupan. maka, pada gilirannya kebiasaan yang membias dan membudaya tersebut telah menumbuh suburkan sifat negatif dalam diri kita, seperti egoisme, pragmatisme, hedonisme dan masih banyak lagi sifat buruk lainnya yang tanpa sadar, telah kita pelihara dalam setiap sendi perjalanan hidup kita. Entah… apakah anda sebagai saudaraku akan menilai semua ini sebagai interpretasi subjektif atau tidak, namun bagiku, semua ini adalah kondisi real kehidupan kita.

Klimaksnya, dentitas kita sebagai makhluk sosial sudah kehilangan substansinya, konsep makhluk sosial yang melekat dalam diri manusia hanya sebatas simbolisasi dari segenap kepentingan egoistis-pragmatis personal kita sebagai manusia. Keikhlasan sebagai landasan luhur yang seharusnya menafasi setiap gerak aktualisasi kita di dunia yang meruang dan mewaktu ini ternyata telah kita simpan rapat-rapat di lemari keangkuhan dan rak ketamakan. Tidak ada lagi bentuk interaksi yang mencerminkan nilai-nilai teologi pembebasan. Yaitu konsep ber-Tuhan dan berkepercayaan esensial yang prima principanya terletak pada tidak adanya penindasan.

Dengan pemaknaan sempit terhadap teologi, maka sangat mudah menemukan orang yang mengaku sebagai umat Islam, akan tetapi sangat sulit menemukan orang yang punya pemahaman kaffah terhadap Islam. Cak Nur pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Doktrin Islam dan Peradaban, bahwa memahami Islam tidak sebatas memahami simbol Islam yang teraktualisasi dalam bentuk ritual keagamaan seperti shalat, zakat, sedekah dan puasa. Akan tetapi terletak pada memahami keseimbangan hubungan relasional manusia dengan Tuhan pada aspek relasi transenden dan relasi profan. Cak Nur mengatakan bahwa relasi transenden adalah hubungan komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam hubungan ini, kita dituntut memiliki sebuah consiousness bahwa kita adalah seorang hamba yang terbatas dengan kekuatan Tuhan. Meyakini Tuhan dengan segala bentuk manifestasi ke-Ilahi-anNya adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Sedangkan relasi profan adalan consiousness terhadap tanggung jawab kita sebagai khalifah fil ardh. Konsep khalifah fil ardh tersebut adalah bentuk manifestasi sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, maka menauladani Tuhan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan dalam rangka keseimbangan fungsi kita sebagai hamba (‘abdun) dan manusia (annas-Insan) sebagai khalifah fil ardh.

Apa yang Aku ceritakan di atas adalah konsep ideal yang Aku ambil dari beberapa pemikiran pemikir serta discours yang Aku lakukan dengan para ”sahabat-sahabat peradaban”. Namun, ketika mencoba melihat realitas keagamaan saat ini, Aku tidak yakin bahwa kita sebagai umat Islam telah mampu menyerahkan diri kepada Tuhan sebagai sumber kedamaian dan keabadian. Keberagamaan yang kita miliki sekarang adalah “agama versi kita”, yang kita cari bukan lagi kebenaran akan tetapi pembenaran terhadap keinganan-keinginan subjektif kita. Lantas, bagaimana bisa kita menemukan kebenaran sejati sedangkan kita dengan tanpa sadar, telah menjadikan kebenaran itu sendiri sebagai konsep maya yang berlainan dunia dan tidak relevan dengan kehidupan kita. Tidak ada lagi batasan yang jelas antara kebenaran dengan ketidakbenaran. Semuanya mengabur dan membentuk paradigma baru tentang Agama, “agama versi kita”

Saudaraku… bukankah kita dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci? Bukankah masuknya ruh dalam diri kita dengan cara ditiupkan? Semua itu mengindikasikan bahwa esensi dari ruh adalah bentuk manifestasi Tuhan dalam diri setiap manusia, tentu ruh tersebut memiliki kesucian dan kebersihan. Akan tetapi karena ruh tersebut ditiupkan kepada kita yang hidup meruang dan mewaktu, maka ruh kita berpotensi untuk kehilangan esensi kesuciannya. Mari kita coba sejenak untuk melihat realitas yang terjadi di sekitar kita, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya adalah indikator hilangnya fungsi esensial dari ruh kita yang suci. Ketika kita melakukan penindasan kepada yang lemah maka kita telah mengingkari penghambaan kita kepada Tuhan, bukankah yang maha kuat adalah Tuhan? Lalu kenapa kita harus melangkahi Tuhan dengan mencoba menjadi yang kuat?

Satu hal lagi, selama ini Aku sangat jarang melakukan tadabbur dan tafakkur dengan alam ataupun dengan sesama manusia, Aku lebih disibukkan dengan hal-hal yang ku rasa tidak memiliki manfaat bagi diriku dan orang lain. Seringkali muncul tanda tanya dalam benakku, seperti apakah manusia kamil itu? Maka Aku teringat dengan ayat Tuhan “berdustalah orang-orang yang bersembahyang jika dia diam diri ketika melihat orang-orang yang menderita secara sosial di sekitarnya” sangat jelas maksud Tuhan dengan ayat itu. Beragama adalah keseimbangan antara menghamba dengan menjalankan tugas kita sebagai manusia di muka bumi. Aku tidak habis pikir, jika diam diri melihat kaum mustadhafin saja sudah dikatakan tidak menghamba apalagi melakukan penindasan. Tapi kenapa kita masih senantiasa bernafsu untuk melakukan eksploitasi terhadap sesama manusia atau bahkan dengan alam di sekitar kita? Entahlah… aku juga bingung dengan relaitas kehidupan ini, kenapa kesadaran menghamba dan memanusia itu sangat sulit dimiliki oleh kita.

Di akhir risalah ini, Aku berharap kepada semua saudaraku yang sempat menerima dan membaca surat ini, berkenan untuk mengirimkan balasan dan Aku akan kembali membalasnya serta akan Aku gandakan setiap surat yang masuk untuk Aku sebarkan kepada saudara yang lain. Budaya korespondensi seperti ini, menurutku sangat perlu dilakukan. Daripada menghabiskan waktu dengan HP dalam rangka memanfaatkan tawaran murah semua operator celluler, bukankah lebih baik kita berdialektika dalam dunia pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan seperti ini?

Saudaraku, Aku harap kamu tidak merasa terkejut dan terganggu dengan sampainya surat ini di tanganmu, semua ini hanya bentuk kado akhir tahun yang bisa Aku berikan kepadamu, Aku tidak punya cukup uang untuk membelikan bunga atau kartu ucapan sebagai tanda selamat tahun baru buatmu. Aku hanya mampu memberikan dua kertas ini kepadamu. HAPPY NEW YEAR….

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Saudaramu

A. FAWAID

HMI, THE WAY FOR BETTER INDONESIA

HMI, THE WAY FOR BETTER INDONESIA*

A. FAWAID SULAIMAN*

Reinassance Mahasiswa, Umat dan Bangsa

Akhir 1944 - awal 1945, Identitas Masyarakat Indonesia sebagai makhluk sosial mulai kehilangan substansinya, konsep makhluk sosial yang melekat dalam diri manusia hanya sebatas simbolisasi dari segenap kepentingan egoistis personal mereka sebagai manusia. Keikhlasan sebagai landasan luhur yang seharusnya menafasi setiap gerak aktualisasinya di dunia yang meruang dan mewaktu ini ternyata telah disimpan rapat-rapat di lemari keangkuhan dan rak ketamakan. Tidak ada lagi bentuk interaksi yang mencerminkan nilai-nilai teologi pembebasan. Yaitu konsep ber Tuhan dan berkepercayaan esensial yang prinsip dasarnya terletak pada tidak adanya penindasan.

Dengan pemaknaan sempit terhadap teologi, maka sangat mudah menemukan orang yang mengaku sebagai umat Islam, akan tetapi sangat sulit menemukan orang yang punya pemahaman kaffah terhadap Islam. Cak Nur pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Doktrin Islam dan Peradaban, bahwa memahami Islam tidak sebatas memahami simbol Islam yang teraktualisasi dalam bentuk ritual keagamaan seperti shalat, zakat, sedekah dan puasa. Akan tetapi terletak pada memahami keseimbangan relasi integral manusia dengan Tuhan pada aspek relasi transenden dan relasi profan. Cak Nur mengatakan bahwa relasi transenden adalah hubungan komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam hubungan ini, manusia dituntut memiliki sebuah consiousness bahwa manusia adalah seorang hamba yang terbatas dengan kekuatan Tuhan. Meyakini Tuhan dengan segala bentuk manifestasi ke-Ilahi-anNya adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Sedangkan relasi profan adalan consiousness terhadap tanggung jawab manusia sebagai khalifah fil ardh. Konsep khalifah fil ardh tersebut adalah bentuk manifestasi sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, maka menauladani Tuhan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan dalam rangka keseimbangan fungsi manusia sebagai hamba (‘abdun) dan manusia (annas-Insan) sebagai khalifah fil ardh.

Selanjutnya, Setiap detik sejarah bangsa yang membentang tidak pernah luput dari peran pemuda, pemuda dengan prinsip idealisnya selalu mampu untuk mengimplementasikan seluruh kegelisahan yang tersemai dalam nurani mereka. idealisme inilah yang menjadi benih dari munculnya gerakan-gerakan perubahan yang terkonsep, tertata dengan rapi dan intelektualis. Pemuda adalah manusia yang berani bermimpi dan menerjemahkan mimpinya dalam praksis nyata, karena mereka punya prinsip, mimpi adalah nyata sedangkan kenyataan bukanlah mimpi.

Pada esensinya, pemuda adalah manusia yang memiliki kebebasan individu, senantiasa berfikir kreatif-inovatif dalam memandang kehidupan, mereka adalah simbol kemerdekaan yang tidak pernah teracuni oleh virus-virus pragmatis, merekalah kaum idealis- intelektualis sebagai pemegang kendali gerbong perubahan.

Selanjutnya, Mahasiswa yang merupakan representasi kaum muda adalah para agen perubahan dari setiap lini kehidupan. Tanggung jawab besar diletakkan di punggung mereka. Pilar terpenting dari bangsa Indonesia adalah Mahasiswa. Tidak ada revolusi apapun tanpa peran Mahasiswa, dan tak ada kontra revolusi apapun tanpa peran Mahasiswa (kalimat ini diucapkan oleh orang asing). Mulai dari pertama kali menginjakkan kakinya di kampus, seorang mantan siswa akan menjadi Mahasiswa yang konon katanya adalah gelar sakral dan penuh dengan beban tanggung jawab. Predikat Mahasiswa akan membuat seseorang menjadi agen perubahan, pengontrol perubahan sosial, penyampai Ilmu dan lain sebagainya, intinya, Mahasiswa adalah “warasatul Ambiya’” Mahasiswa-lah yang akan menjadi nabi-nabi Sosial, seorang Intelektual yang senantiasa gelisah melihat ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat, di negara atau bahkan di dunia, yang selalu tergugah ketika keberagamaan yang mereka miliki tidak memihak.

Namun, di era globalisasi ini, di saat zaman mulai tercemar oleh perilaku passif dan cenderung pragmatis, peran Mahasiswa sudah mulai dipertanyakan. Mahasiswa yang secara formal hidup dalam dunia pendidikan ternyata tidak mampu mengartikulasikan wacana ideologis perjuangan dalam mengawali perubahan bangsa dan negara. Mahasiswa malah mabuk dengan dunia pendidikannya yang ternyata –karena kekeliruan sistem- tidak mencerdaskan mahasiswa. Sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan sistem kelembagaan cenderung diskriminatif, hal ini senada dengan kritik yang disampaikan oleh kaum skeptis yang mengatakan bahwa Hanya anak yang bisa memenuhi persyaratan formal yang ditentukan yang boleh belajar di sekolah. kemudian Komersialisasi, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas, merupakan faktor lain yang mendukung berlakunya diskriminasi pendidikan. Keprihatinan ini mengingatkan pada kritik Ivan Illich tentang sistem sekolah yang hanya menjadikan para siswa tidak bedanya dengan sapi perah. Hanya anak yang siap diperah keuangan (orang tua)nya yang boleh duduk di bangku sekolah. Perlakuan diskriminatif di balik penyelengaraan pendidikan formal yang kemudian menyinggung rasa keadilan kaum pembaharu pendidikan.

Konflik dalam dunia pendidikan tersebut hanyalah sebagian faktor penyebab hilangnya marwah pendidikan untuk menghasilkan Mahasiswa brilian yang mempunyai pemikiran cerdas kreatif. Keengganan Mahasiswa untuk melakukan pengembaraan pemikiran melalui medium kontemplasi sinergis antara hati dan fikiran juga menjadi penyebab menurunnya kwalitas Mahasiswa. Sangat jarang ditemukan Mahasiswa yang mempunyai ghirah perjuangan untuk menciptakan perubahan, mereka malah asyik mereformasi dunia perkuliahan menjadi ajang pergaulan bebas dan sepi dari spiritualitas sehingga output yang dihasilkan oleh perguruan tinggi adalah Mahasiswa bodoh amoral yang menambah sumber daya konflik bagi bangsa.

Fenomena menurunnya kwalitas mahasiswa tersebut harus segera diantisipasi, karena mahasiswa sebagai tiang penyanggah kokohnya bangsa harus senantiasa memiliki rasa nasionalisme yang di implementasikan melalui intensitas proses untuk membangun kapasitas personalnya, baik dari segi kapasitas disiplin keilmuan dan juga kapasitas pemahaman terhadap keberagamaan yang kaffah, yaitu pemahaman keagamaan melalui hermeneutika dinamika factual yang terajut dalam setiap sendi kehidupannya. Sinergitas antara kapasitas akademik dan keagamaan tersebut, diyakini mampu untuk mengembalikan sakralitas identitas ke-mahasiswa-aanya yang selama ini telah tercerabut oleh kepentingan pragmatis-oportunistik yang cenderung sementara.

Dari segenap konflik mendasar tersebut, maka pergulatan pemikiran melalui interaksi dalam dunia intelektual, mutlak dilakukan. Karena dengan pergesekan pemikiran tersebut, Mahasiswa akan memintal benang prosesnya dalam jalur yang benar menuju peningkatan kwalitas hidup dalam kehidupannya. Pak Roem pernah berkata “pada tahun 1945, 40 Mahasiswa bisa memerdekakan bangsa Indonesia! Namun sekarang? Berjuta mahasiswa tidak mampu menjadi motor penggerak untuk menciptakan perubahan yang fundamen-konseptis demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang dibingkai dalam frame di ridahai oleh Allah SWT” hal ini merupakan fenomena tragis dan menjadi indikator hilangnya peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai imbas degradasi multi aspek dalam internal dan eksternal Mahasiswa.

Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengembalikan mahasiswa kepada track yang benar dalam proses pencarian identitas individu dan sosialnya, maka perlu diadakan pembinaan massif dan intensif di bidang keilmuan dan keagamaan mereka. Hal itu bisa diwujudkan melalui kegiatan intensif yang dimediasi oleh organisasi yang memiliki ghirah perjuangan serta berorientasi pada aspek peningkatan kapasitas Mahasiswa melalui pola kaderisasi yang konseptif-orientatif. Kaderisasi yang terencana dan memiliki tujuan jelas. Yaitu mencari potensi yang dimiliki Mahasiswa, menggali potensi tersebut, kemudian merubahnya menjadi kekuatan yang representative untuk menghadapi tantangan hidup.

Dengan proses kaderisasi yang menitik beratkan kepada konstruksi kepekaan sosial Mahasiswa, maka jalan untuk menumbuhkan kritisisme Mahasiswa terhadap fenomena keummatan akan terbuka. Mahasiswa akan memiliki nilai-nilai sosial yang akan membawa mereka kembali kepada idealisme Mahasiswa sebagai garda depan pejuang hak umat, berusaha menebus kembali semangatnya yang sempat tergadaikan.

HMI, THE WAY FOR BETTER INDONESIA

Maka. Pada 5 Februari 1947, tepat 62 tahun yang lalu HMI lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Memenuhi panggilan Umat dan Bangsa. HMI lahir ketika kondisi Bangsa Indonesia masih sangat memprihatinkan, bekas imprealisme masih membias dan menghantui benak seluruh rakyat Indonesia, bayang-bayang penderiitaan masa penjajahan masih kental mendiami memori mereka, sehingga menciptkan budaya inlander yang akut dan sulit dihapuskan. Kondisi tersebut telah merintangi proses recovery Bangsa Indonesia. Di samping itu, segenap potensi Bangsa Indonesia masih tercerai berai, sehingga menghalangi munculnya kesadaran kolektif untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan spirit ke-umat-an dan ke-bangsa-an HMI hadir di tengah hiruk-pikuk persoalan Bangsa. Mencoba mengada dan berbuat demi menciptakan tatanan masyarakat kebangsaan yang ideal dan menopang terhadap langgengnya proses membangun Bangsa. Fase demi fase sejarah telah terlewati, aral dan rintangan yang menghadang mampu ditepis dengan lugas dan cerdas. Era Orde Lama, HMI mampu bersinergi dengan Pemerintah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di era Orde Baru, HMI mampu memberikan warna berbeda pada sisi intelektualitas yang memperkaya khazanah Ilmu Pengetahuan di Indonesia, dan di saat peristiwa heroic Reformasi yang digadang-gadang sebaagai gerbang awal lahirnya demokrasi yang lebih substantive, HMI juga ikut serta turun jalan untuk mewujudkan sebuah era baru yang lebih menjanjikan. Melakukan pressure terhadap Pemerintah untuk menumbangkan Era Orde baru yang terbukti gagal menjalankan amanat demokrasi.

10 tahun sudah peristiwa heroic Reformasi berlalu, akan tetapi common Vision Reformasi yang tertuang dalam tujuh agenda Reformasi ternyata belum bisa diwujudkan, lalu, apakah HMI akan berhenti sampai di sini? Jawabannya tegas! TIDAK!!!. Tujuh agenda Reformasi merupakan agenda wajib yang harus dituntaskan! Tidak ada istilah mengingkari komitmen anak bangsa yang dengan berdarah-darah, mengorbankan jiwa dan raga hanya demi memberikan sesuatu yang berharga bagi Bangsa dan Negara. Sebagai generasi penerus, sepantasnya bagi HMI masa kini untuk mewujudkan dan melaksanakan agenda Reformasi demi mewujudkan kepantasan demokrasi yang lebih substantive, yaitu demokrasi yang memiliki aura consoiusness, loyality, responsibility, profesionality, dan ability untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah. Akan tetapi, kondisi real yang ada ternyata berbanding terbalik, disorientasi serta pengingkaran terhadap spirit reformasi telah mewarnai kinerja birokrasi Negara Indonesia. Hal inilah yang akan mendorong munculnya "New Orde Baru" ­ sebagai sebuah siklus tak terelakkan. Masih ramainya kasus korupsi, kolusi, nepotisme sampai pada Antasari Case dan lemahnya public service merupakan indicator tak terbantahkan untuk mendiskripsikan kinerja Birokrasi Indonesia.

Amanah Reformasi untuk menciptakan demokrasi yang lebih substantive ternyata telah dihianati, aura Reformasi perlahan akan menghilang. Yang ada hanyalah demokrasi formal yang tergambar dalam pemilihan umum (pemilu). Sedangkan pada aspek demokrasi yang esensial ternyata masih belum bisa terwujud. Tentu hal ini akan memperlambat terhadap proses recovery Bangsa. Oleh sebab itu, sudah saatnya segenap Bangsa Indonesia dari semua kalangan, birokrasi, pengusaha, .mahasiswa, petani, pedagang serta penganggguran, melakukan refleksi terhadap perjalanan bangsa Indonesia dalam mengarungi lautan sejarah yang dipenuhi dengan pengorbanan.

  • A. Fawaid Sulaiman, Alumni Pondpest Nurul Islam Bluto yang sekarang melanjutkan kesantriannya di HMI, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Sumenep Komisariat STKIP PGRI Sumenep.

Jumat, 02 Juli 2010

"RAKYAT MASIH LAPAR" Upaya Solutif Memberdayakan Ekonomi Rakyat

"RAKYAT MASIH LAPAR"
Upaya Solutif Memberdayakan Ekonomi Rakyat
A. Fawaid

PENDAHULUAN : Rakyat Masih Lapar
Terlepas dari kontroversi yang mewarnai perjalanan Presiden kedua RI
Almarhum Soeharto, terdapat beberapa hal yang mungkin bisa dikatakan
sebagai pencapaian brilian beliau ketika menjabat sebagai seorang
Presiden. Ketegasan yang ditunjukkannya menjadi ciri khas tersendiri,
konsistensi yang dia tunjukkan menjadikannya sebagai salah satu
pemimpin yang disegani, bukan hanya di Asia tapi juga di tingkat
internasional.

Menjadi Presiden RI selama 32 tahun jelas bukanlah suatu perkara yang
gampang, baik dari segi permainan politik serta bagaimana menjaga
kepercayaan masyarakat, tentu hal itu memerlukan kerja keras serta
semangat yang tinggi, apalagi Soeharto naik pangkat menjadi Presiden
ketika Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis Multidimensi, lebih
parah dari sekarang ini. Stabilisasi Nasional, Perekonomian lemah,
pembangunan infra dan supra struktur sampai pada proses peningkatan
kwalitas pendidikan merupakan titik fokus Soeharto ketika pertama kali
memegang tampuk kepemimpinan bangsa Indonesia ini.

Namun, ternyata Soeharto mampu melakukan itu semua, perlahan
pembangunan infra struktur meningkat, pendidikan juga sudah mulai
menunjukkan perkembangan positif, dan yang paling fenomenal adalah
kemajuan yang dicapai Indonesia dalam bidang perekonomian sehingga
menjadikan bangsa Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami
perkembangan terpesat pada waktu itu, hal ini ditandai dengan
meningkatnya produksi masyarakat di bidang pertanian, terutama beras.
Pada awal pemerintahan Soeharto, ekspor beras Indonesia sebanyak 0 %
akan tetapi pada tahun 1975 ekspor beras Indonesia meningkat menjadi 8
% dan mencapai puncaknya pada tahun 1989-1990 yaitu mengalami
peningkatan sebanyak 20 % (Liputan 6 SCTV: 2008).

Inilah penjelasan sepintas mengenai sepak terjang Soeharto dalam
proses pembangunan bangsa Indonesia, terutama di bidang perekonomian.
Memang tidak bisa dipungkiri, sebanyak apapun dosa Soeharto terhadap
Negara dan bangsa Indonesia, jasa yang telah diberikannya juga
sangatlah besar, dan krisis yang menerpa bangsa Indonesia ini secara
murni bukanlah semata-mata karena perbuatan Soeharto, seyogyanya kalau
kita mencoba mengingat bahwa krisis 1997 atau yang dikenal dengan
krisis moneter tidak hanya menerpa bangsa Indonesia akan tetapi juga
negara-negara Asia lainnya. hal ini juga bukan karena kegemaran
Soeharto untuk menumpuk hutang dari luar negeri, melainkan akibat
inflasi negatif yang terjadi di negara-negara Asia sebagai akibat dari
melemahnya mata uang negara-negara Asia terhadap mata uang dollar
Amerika.

Krisis moneter tersebut sampai sekarang belum juga bisa ditanggulangi,
10 tahun bangsa Indonesia berjuang untuk keluar dari lingkaran krisis
moneter ini, mencoba mengukir sejarah dengan tinta emas dan simbahan
darah, dimulai dengan peristiwa heroic reformasi yang menjadi saksi
nyata bahwa perjuangan untuk keluar dari jurang kemelaratan memerlukan
pengorbanan besar karena seiring dengan keinginan yang besar maka
harus ada usaha yang besar, kemudian dilanjutkan dengan peristiwa
gonta gantinya pemimpin di Indonesia, bahkan sampai sekarang ini para
birokrat pemerintahan lebih disibukkan dengan urusan kepentingan
politik demi melancarkan jalan pribadi, memperkaya diri sendiri,
mengatasnamakan aparatur pemerintah sebagai upaya legalisasi
eksploitasi terhadap masyarakat di seluruh Indonesia, sehingga
kecenderungan munculnya soft KKN menjadi terbuka lebar, mereka tidak
lagi memikirkan bagaimanakah usaha serta kebijakan yang harus
diterapkan demi memulihkan perekonomian bangsa, tidak ada inovasi yang
dilakukan oleh pemerintah demi mendekatkan masyarakat bangsa Indonesia
kepada kemakmuran, bahkan mereka cenderung terus menjerumuskan rakyat
Indonesia ke dalam jurang terjal penuh dengan sampah idealisme mereka
yang mungkin telah mereka gadaikan dan dibuang ke jurang itu karena
mereka sudah tidak lagi membutuhkannya. inilah konstelasi politik,
ekonomi, pembangunan serta peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di
Indonesia.

Rakyat Indonesia selalu bertanya, "kapan Indonesia ini makmur?"
pertanyaan yang sederhana namun syarat dengan amanat sakral yang
memerlukan pengorbanan untuk menjawab serta menjalankannya. Memahami
keinginan rakyat Indonesia sebenarnya sangat sederhana, mereka hanya
ingin hidupnya gampang atau tidak susah, mereka ingin harga kebutuhan
pokok tidak mahal atau bisa dibeli dengan murah, mereka ingin hasil
pertaniannya dibeli dengan mahal, mereka hanya ingin hidup mereka
nyaman, aman, tentram dan bahagia. Namun pertanyaan yang paling
mendasar dan sangat perlu untuk dicarikan solusinya adalah, bagaimana
cara memberikan kebahagiaan kepada rakyat? Bagaimana membuat rakyat
hidup tentram dan sentousa?

Masa reformasi sudah berjalan selama sepuluh tahun, selama sepuluh
tahun tersebut tidak ada perkembangan signifikan yang dicapai oleh
bangsa Indonesia dalam bidang ekonomi, kurs rupiah selalu saja
berpacaran dengan angka 9.000-an per dolar, bahkan mulai akhir tahun
2008, dengan terjadinya krisis ekonomi global, kurs rupiah melemah
pada kisaran 11. 000-an, harga sembako terus meningkat bahkan harga
BBM, meskipun mengalami penurunan, dalam perspektif masyarakat bawah
tentu masih sangat mahal. dan yang lebih aneh lagi harga hasil tani
masyarakat yang merupakan sumber pendapatannya malah harus dijual
dengan harga murah.

UPAYA SOLUTIF: Kiat Memberdayakan Ekonomi Rakyat

Fenomena perekonomian bangsa serta kadar ekonomi masyarakat yang
dikemukakan di atas memang sungguh amat teragis dan bukan tidak
mungkin akan mencapai titik nadir dari perjalanan ekonomi bangsa
Indonesia selama ini. Oleh sebab itu, diperlukan kiat-kiat khusus
sebagai usaha solutif memberdayakan perekonomian bangsa Indonesia.

Berdasarkan fenomena di atas dan melihat prospek bangsa Indonesia maka
ada beberapa hal yang sebaiknya segera dilakukan oleh seluruh bangsa
Indonesia, baik pemerintah dan juga masyarakat. Pertama, pemberdayaan
para petani. Pemberdayaan petani ini merupakan hal terpenting yang
harus dilakukan mengingat negara Indonesia adalah negara agraris,
namun harus diakui bahwa petani Indonesia adalah petani yang kurang
memiliki kemampuan tani secara modern sehingga hasil tani yang mereka
hasilkan tidak bisa berkembang, seperti petani tembakau yang setiap
tahun selalu dilanda ketakutan ketika hujan datang menerpa, padahal
jika mau berdaya teknik menanam tembakau di lahan basah sudah dapat
mereka pelajari. Ketidak berdayaan ini kemudian menyebabkan kadar
produksi masyarakat menjadi rendah dan ini juga menyebabkan terjadinya
unbalancing ekspor-impor pemerintah dan akhirnya juga berakibat fatal
pada pendapatan bangsa dan juga rakyat Indonesia.

Kedua, sekali jagung tetap jagung, spesialisasi pertanian masyarakat
sangat penting mengingat profesionalitas senantiasa dibutuhkan dalam
proses pemberdayaan perekonomian masyarakat, rakyat harus disadarkan
bahwa mereka harus berusaha untuk bertani secara profesional, hal ini
bisa ditempuh dengan meningkatkan satu hasil pertanian yang memang
merupakan hasil dari suatu daerah tertentu. Di madura mayoritas hasil
tani petani adalah jagung, maka rakyat harus di fokuskan pada
peningkatan mutu jagung dan juga hasil produksi jagung dengan cara
melakukan terobosan pertanian jagung, usaha ini akan berimbas positif
terhadap pendapatan perkapita rakyat petani karena dengan meningkatnya
hasil tani rakyat maka secara otomatis pendapatan mereka juga akan
meningkat, kemudian pemerintah juga harus mengambil peranan penting
dalam pemberdayaan jagung ini, yaitu dengan meningkatkan harga jagung
pada level selayaknya sehingga rakyat bisa mendapatkan keuntungan
besar dari hasil jagungnya. Hal ini yang dilakukan oleh provinsi muda
Gorontalo dan membuat provinsi itu menjadi satu-satunya provinsi yang
mengalami perkembangan ekonomi terpesat di antara provensi lainnya di
Indonesia per-Tahun 2007 lalu..

Ketiga, kontrak dengan perusahaan harus berpihak kepada Rakyat, budaya
kapitalistik memang sudah mengakar di negara Indonesia ini, para
pemegang modal memegang peranan penting dalam percaturan perekonomian
bangsa ini. Istilah investor menjadi istilah lembut sebagai derivasi
dari istiliah kapitalis, namun sebagai negara berkembang yang masih
miskin modal, negara Indonesia memang sangat membutuhkan peran
investor untuk menamkan modalnya di perusahaan-perusahaan Indonesia,
namun permasalahannya terletak pada kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam bekerja sama dengan perusahaan besar baik perusahaan
dalam negeri atau pun juga luar negeri. Kerja sama pemerintah dengan
perusahaan seharusnya berpihak kepada rakyat.

Keempat, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan
spesialisasi daerahnya, masyarakat yang ada di daerah pertanian maka
harus diberdayakan dalam bidang pertanian, masyarakat nelayan harus
diberdayakan di bidang perikanan, hal ini kemudian akan memunculkan
interaksi positif antara setiap elemen masyarakat di berbagai
disiplin usaha dan juga membuat situasi perekonomian menjadi positif.

Itulah kiat-kiat khusus yang mungkin harus diterapkan oleh pemerintah
sebagai kebijakan perekonomian demi mencapai cita-cita bangsa,
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dan prinsip "kebijakan
harus berpihak pada rakyat" harus senantiasa dipegang teguh oleh
pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan. Berpuluh juta rakyat
Indonesia telah menunggu untuk diberdayakan.

A. FAWAID, Lahir di Sumenep 23 tahun yang lalu (10 April 1986).
Bertempat tinggal di jln. Trunojoyo Gg. V/15a Kolor Sumenep. Alumni
Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka Bluto. Pernah aktif di: LPM
STKIP PGRI Sumenep (2007). the Wahib institute (2008-sekarang). Dan
sekarang dalam proses menyelesaikan study di STKIP PGRI Sumenep.

Kamis, 01 Juli 2010

Homogenitas

entity character, homogenitas karakter pada situasi sekarang akan sangat sulit ditemukan, hal ini wajar, mengingat segala hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia sudah mulai individualis, indikator kongkritnya kita lihat pada kehidupan beragama, sekarang ini, ummat memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi teks dan interteks utk menmukan konsep keberimannya, pada akhirnya terwujudlah tatanan kepercayaan individu, aku dan engkau meskipun sama-sama mendeklarasikan beragama Islam belum tentu memiliki paradigm sama terhadap Islam, begitupun diriku yang berupaya mengganti gordon HMIku dengan gambar upin-ipin, terro e begiyeh k anak keng wa........

Dunia terpetak

dunia yang berpetak
melenyapkan gelak tawa dalam keheningan.
kicau burung, semilir bayu atau nyanyian suci alam yang tenang ini telah menjadi hikayat yang selesai nan usang. ketamakan telah mengikis habis ketawadhuan.
emosi yang di poles lipstik telah menipu segalanya.

ruang yang berpetak.
menghilangkan senyuman. bahasa prosa yang tak lagi sederhana.
para penyair yang terjebak pada lautan pusaran keindahan bahasa, tak lagi memperdulikan isi.
ketika niat tak lagi suci.

hidup berjalan terpisah dari alam.
tak dala lagi perbuatan alami.
hidup benarbenar tercemar oleh penguasa yang berlagak penyair.
oleh perompak yang berlagak pujangga.
oleh iblis nertopeng malaikat.

hidup adalah perbuatan, aku fahami itu.
tapi perbuatan yang tak alami hanya menghilangkan kesetaraan.

Fawaid Sulaiman, 2010

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | Affiliate Network Reviews