HMI, THE WAY FOR BETTER
A. FAWAID SULAIMAN*
Reinassance Mahasiswa, Umat dan Bangsa
Akhir 1944 - awal 1945, Identitas Masyarakat Indonesia sebagai makhluk sosial mulai kehilangan substansinya, konsep makhluk sosial yang melekat dalam diri manusia hanya sebatas simbolisasi dari segenap kepentingan egoistis personal mereka sebagai manusia. Keikhlasan sebagai landasan luhur yang seharusnya menafasi setiap gerak aktualisasinya di dunia yang meruang dan mewaktu ini ternyata telah disimpan rapat-rapat di lemari keangkuhan dan rak ketamakan. Tidak ada lagi bentuk interaksi yang mencerminkan nilai-nilai teologi pembebasan. Yaitu konsep ber Tuhan dan berkepercayaan esensial yang prinsip dasarnya terletak pada tidak adanya penindasan.
Dengan pemaknaan sempit terhadap teologi, maka sangat mudah menemukan orang yang mengaku sebagai umat Islam, akan tetapi sangat sulit menemukan orang yang punya pemahaman kaffah terhadap Islam. Cak Nur pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Doktrin Islam dan Peradaban, bahwa memahami Islam tidak sebatas memahami simbol Islam yang teraktualisasi dalam bentuk ritual keagamaan seperti shalat, zakat, sedekah dan puasa. Akan tetapi terletak pada memahami keseimbangan relasi integral manusia dengan Tuhan pada aspek relasi transenden dan relasi profan. Cak Nur mengatakan bahwa relasi transenden adalah hubungan komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam hubungan ini, manusia dituntut memiliki sebuah consiousness bahwa manusia adalah seorang hamba yang terbatas dengan kekuatan Tuhan. Meyakini Tuhan dengan segala bentuk manifestasi ke-Ilahi-anNya adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Sedangkan relasi profan adalan consiousness terhadap tanggung jawab manusia sebagai khalifah fil ardh. Konsep khalifah fil ardh tersebut adalah bentuk manifestasi sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, maka menauladani Tuhan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan dalam rangka keseimbangan fungsi manusia sebagai hamba (‘abdun) dan manusia (annas-Insan) sebagai khalifah fil ardh.
Selanjutnya, Setiap detik sejarah bangsa yang membentang tidak pernah luput dari peran pemuda, pemuda dengan prinsip idealisnya selalu mampu untuk mengimplementasikan seluruh kegelisahan yang tersemai dalam nurani mereka. idealisme inilah yang menjadi benih dari munculnya gerakan-gerakan perubahan yang terkonsep, tertata dengan rapi dan intelektualis. Pemuda adalah manusia yang berani bermimpi dan menerjemahkan mimpinya dalam praksis nyata, karena mereka punya prinsip, mimpi adalah nyata sedangkan kenyataan bukanlah mimpi.
Pada esensinya, pemuda adalah manusia yang memiliki kebebasan individu, senantiasa berfikir kreatif-inovatif dalam memandang kehidupan, mereka adalah simbol kemerdekaan yang tidak pernah teracuni oleh virus-virus pragmatis, merekalah kaum idealis- intelektualis sebagai pemegang kendali gerbong perubahan.
Selanjutnya, Mahasiswa yang merupakan representasi kaum muda adalah para agen perubahan dari setiap lini kehidupan. Tanggung jawab besar diletakkan di punggung mereka. Pilar terpenting dari bangsa
Namun, di era globalisasi ini, di saat zaman mulai tercemar oleh perilaku passif dan cenderung pragmatis, peran Mahasiswa sudah mulai dipertanyakan. Mahasiswa yang secara formal hidup dalam dunia pendidikan ternyata tidak mampu mengartikulasikan wacana ideologis perjuangan dalam mengawali perubahan bangsa dan negara. Mahasiswa malah mabuk dengan dunia pendidikannya yang ternyata –karena kekeliruan sistem- tidak mencerdaskan mahasiswa. Sistem pendidikan
Konflik dalam dunia pendidikan tersebut hanyalah sebagian faktor penyebab hilangnya marwah pendidikan untuk menghasilkan Mahasiswa brilian yang mempunyai pemikiran cerdas kreatif. Keengganan Mahasiswa untuk melakukan pengembaraan pemikiran melalui medium kontemplasi sinergis antara hati dan fikiran juga menjadi penyebab menurunnya kwalitas Mahasiswa. Sangat jarang ditemukan Mahasiswa yang mempunyai ghirah perjuangan untuk menciptakan perubahan, mereka malah asyik mereformasi dunia perkuliahan menjadi ajang pergaulan bebas dan sepi dari spiritualitas sehingga output yang dihasilkan oleh perguruan tinggi adalah Mahasiswa bodoh amoral yang menambah sumber daya konflik bagi bangsa.
Fenomena menurunnya kwalitas mahasiswa tersebut harus segera diantisipasi, karena mahasiswa sebagai tiang penyanggah kokohnya bangsa harus senantiasa memiliki rasa nasionalisme yang di implementasikan melalui intensitas proses untuk membangun kapasitas personalnya, baik dari segi kapasitas disiplin keilmuan dan juga kapasitas pemahaman terhadap keberagamaan yang kaffah, yaitu pemahaman keagamaan melalui hermeneutika dinamika factual yang terajut dalam setiap sendi kehidupannya. Sinergitas antara kapasitas akademik dan keagamaan tersebut, diyakini mampu untuk mengembalikan sakralitas identitas ke-mahasiswa-aanya yang selama ini telah tercerabut oleh kepentingan pragmatis-oportunistik yang cenderung sementara.
Dari segenap konflik mendasar tersebut, maka pergulatan pemikiran melalui interaksi dalam dunia intelektual, mutlak dilakukan. Karena dengan pergesekan pemikiran tersebut, Mahasiswa akan memintal benang prosesnya dalam jalur yang benar menuju peningkatan kwalitas hidup dalam kehidupannya. Pak Roem pernah berkata “pada tahun 1945, 40 Mahasiswa bisa memerdekakan bangsa
Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengembalikan mahasiswa kepada track yang benar dalam proses pencarian identitas individu dan sosialnya, maka perlu diadakan pembinaan massif dan intensif di bidang keilmuan dan keagamaan mereka. Hal itu bisa diwujudkan melalui kegiatan intensif yang dimediasi oleh organisasi yang memiliki ghirah perjuangan serta berorientasi pada aspek peningkatan kapasitas Mahasiswa melalui pola kaderisasi yang konseptif-orientatif. Kaderisasi yang terencana dan memiliki tujuan jelas. Yaitu mencari potensi yang dimiliki Mahasiswa, menggali potensi tersebut, kemudian merubahnya menjadi kekuatan yang representative untuk menghadapi tantangan hidup.
Dengan proses kaderisasi yang menitik beratkan kepada konstruksi kepekaan sosial Mahasiswa, maka jalan untuk menumbuhkan kritisisme Mahasiswa terhadap fenomena keummatan akan terbuka. Mahasiswa akan memiliki nilai-nilai sosial yang akan membawa mereka kembali kepada idealisme Mahasiswa sebagai garda depan pejuang hak umat, berusaha menebus kembali semangatnya yang sempat tergadaikan.
HMI, THE WAY FOR BETTER
Maka. Pada 5 Februari 1947, tepat 62 tahun yang lalu HMI lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Memenuhi panggilan Umat dan Bangsa. HMI lahir ketika kondisi Bangsa Indonesia masih sangat memprihatinkan, bekas imprealisme masih membias dan menghantui benak seluruh rakyat Indonesia, bayang-bayang penderiitaan masa penjajahan masih kental mendiami memori mereka, sehingga menciptkan budaya inlander yang akut dan sulit dihapuskan. Kondisi tersebut telah merintangi proses recovery Bangsa
Dengan spirit ke-umat-an dan ke-bangsa-an HMI hadir di tengah hiruk-pikuk persoalan Bangsa. Mencoba mengada dan berbuat demi menciptakan tatanan masyarakat kebangsaan yang ideal dan menopang terhadap langgengnya proses membangun Bangsa. Fase demi fase sejarah telah terlewati, aral dan rintangan yang menghadang mampu ditepis dengan lugas dan cerdas. Era Orde Lama, HMI mampu bersinergi dengan Pemerintah untuk mempertahankan kemerdekaan
10 tahun sudah peristiwa heroic Reformasi berlalu, akan tetapi common Vision Reformasi yang tertuang dalam tujuh agenda Reformasi ternyata belum bisa diwujudkan, lalu, apakah HMI akan berhenti sampai di sini? Jawabannya tegas! TIDAK!!!. Tujuh agenda Reformasi merupakan agenda wajib yang harus dituntaskan! Tidak ada istilah mengingkari komitmen anak bangsa yang dengan berdarah-darah, mengorbankan jiwa dan raga hanya demi memberikan sesuatu yang berharga bagi Bangsa dan Negara. Sebagai generasi penerus, sepantasnya bagi HMI masa kini untuk mewujudkan dan melaksanakan agenda Reformasi demi mewujudkan kepantasan demokrasi yang lebih substantive, yaitu demokrasi yang memiliki aura consoiusness, loyality, responsibility, profesionality, dan ability untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah. Akan tetapi, kondisi real yang ada ternyata berbanding terbalik, disorientasi serta pengingkaran terhadap spirit reformasi telah mewarnai kinerja birokrasi Negara
Amanah Reformasi untuk menciptakan demokrasi yang lebih substantive ternyata telah dihianati, aura Reformasi perlahan akan menghilang. Yang ada hanyalah demokrasi formal yang tergambar dalam pemilihan umum (pemilu). Sedangkan pada aspek demokrasi yang esensial ternyata masih belum bisa terwujud. Tentu hal ini akan memperlambat terhadap proses recovery Bangsa. Oleh sebab itu, sudah saatnya segenap Bangsa Indonesia dari semua kalangan, birokrasi, pengusaha, .mahasiswa, petani, pedagang serta penganggguran, melakukan refleksi terhadap perjalanan bangsa Indonesia dalam mengarungi lautan sejarah yang dipenuhi dengan pengorbanan.
- A. Fawaid Sulaiman, Alumni Pondpest Nurul Islam Bluto yang sekarang melanjutkan kesantriannya di HMI, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Sumenep Komisariat STKIP PGRI Sumenep.
0 komentar:
Posting Komentar