Sabtu, 03 Juli 2010

Suara Kehidupan

31 Desember 2008 02. 22 WIB.

Untuk

Saudara-Saudaraku

di-

Panggung Kehidupan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Berawal dari sebuah kegelisahan yang senantiasa menyeruak dipinggir hatiku, sebuah refleksi evaluatif terhadap rekaman perjalanan hidupku selama satu tahun ini. Kegelisahan itu menggumpal dan mencapai klimaksnya di hari terakhir tahun 2008 ini, setiap detail pengembaraan 2008 ku tampak jelas tergambar di layar proyektor kehidupanku. Meringis rasanya ketika realita kehidupan yang Aku lihat ternyata dipenuhi dengan kesia-siaan belaka. Kejumudan, kegalauan sampai stagnasi pemikiran adalah hal lumrah yang senantiasa Aku lakukan, semua itu mewarnai setiap detik perjalanan hidupku. Kemudian Aku teringat dengan ungkapan I’tiraf “setiap hari umurku berkurang sedangkan dosaku selalu bertambah”. Ada kegamangan dan ketakutan yang Aku rasakan ketika menyibak tabir jejak langkah hidupku. Dosa, lupa dan kesalahan adalah siklus yang tidak pernah bisa Aku hindari.

Beberapa hari yang lalu Temanku pernah berkata, “manusia sangat dekat dengan keanehan, Tuhan telah memberikan waktu kepada kita untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, tapi kenyataannya kita malah berleha-leha dengan waktu, senantiasa bermesraan dengan waktu dan tidak pernah menseriusi waktu. Kehidupan yang identik dengan hura-hura telah menjadi kebiasaan yang telah melanggengkan stagnasi dan jumudisasi pemikiran. Tidak ada lagi aktivitas berfikir yang secara inten dan konsisten dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan, keagamaan serta daya kritis terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Istilah XL nya, “nggak usah mikir”. Aku dan anda disuruh bodoh kali ya?

Potret 2008 yang telah Aku jalani ternyata hanya terisi dengan agenda statis yang tidak memuat nilai-nilai ke-ilmu-an. Pernahkah kita merasa bahwa selama ini kita hidup hanya berpengetahuan tapi tidak berilmu?. Aristoteles pernah membedakan definisi ilmu dengan pengetahuan. pengetahuan hanya sebatas persinggungan subjek dengan objek. sedangkan ilmu adalah pergesekan intensif, analitis, dan sistematis antara subjek dengan objek. Kita sebagai subjek kehidupan ternyata tidak pernah melakukan persenggamaan intensif dengan alam sebagai objek kehidupan. maka, pada gilirannya kebiasaan yang membias dan membudaya tersebut telah menumbuh suburkan sifat negatif dalam diri kita, seperti egoisme, pragmatisme, hedonisme dan masih banyak lagi sifat buruk lainnya yang tanpa sadar, telah kita pelihara dalam setiap sendi perjalanan hidup kita. Entah… apakah anda sebagai saudaraku akan menilai semua ini sebagai interpretasi subjektif atau tidak, namun bagiku, semua ini adalah kondisi real kehidupan kita.

Klimaksnya, dentitas kita sebagai makhluk sosial sudah kehilangan substansinya, konsep makhluk sosial yang melekat dalam diri manusia hanya sebatas simbolisasi dari segenap kepentingan egoistis-pragmatis personal kita sebagai manusia. Keikhlasan sebagai landasan luhur yang seharusnya menafasi setiap gerak aktualisasi kita di dunia yang meruang dan mewaktu ini ternyata telah kita simpan rapat-rapat di lemari keangkuhan dan rak ketamakan. Tidak ada lagi bentuk interaksi yang mencerminkan nilai-nilai teologi pembebasan. Yaitu konsep ber-Tuhan dan berkepercayaan esensial yang prima principanya terletak pada tidak adanya penindasan.

Dengan pemaknaan sempit terhadap teologi, maka sangat mudah menemukan orang yang mengaku sebagai umat Islam, akan tetapi sangat sulit menemukan orang yang punya pemahaman kaffah terhadap Islam. Cak Nur pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Doktrin Islam dan Peradaban, bahwa memahami Islam tidak sebatas memahami simbol Islam yang teraktualisasi dalam bentuk ritual keagamaan seperti shalat, zakat, sedekah dan puasa. Akan tetapi terletak pada memahami keseimbangan hubungan relasional manusia dengan Tuhan pada aspek relasi transenden dan relasi profan. Cak Nur mengatakan bahwa relasi transenden adalah hubungan komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam hubungan ini, kita dituntut memiliki sebuah consiousness bahwa kita adalah seorang hamba yang terbatas dengan kekuatan Tuhan. Meyakini Tuhan dengan segala bentuk manifestasi ke-Ilahi-anNya adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Sedangkan relasi profan adalan consiousness terhadap tanggung jawab kita sebagai khalifah fil ardh. Konsep khalifah fil ardh tersebut adalah bentuk manifestasi sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, maka menauladani Tuhan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan dalam rangka keseimbangan fungsi kita sebagai hamba (‘abdun) dan manusia (annas-Insan) sebagai khalifah fil ardh.

Apa yang Aku ceritakan di atas adalah konsep ideal yang Aku ambil dari beberapa pemikiran pemikir serta discours yang Aku lakukan dengan para ”sahabat-sahabat peradaban”. Namun, ketika mencoba melihat realitas keagamaan saat ini, Aku tidak yakin bahwa kita sebagai umat Islam telah mampu menyerahkan diri kepada Tuhan sebagai sumber kedamaian dan keabadian. Keberagamaan yang kita miliki sekarang adalah “agama versi kita”, yang kita cari bukan lagi kebenaran akan tetapi pembenaran terhadap keinganan-keinginan subjektif kita. Lantas, bagaimana bisa kita menemukan kebenaran sejati sedangkan kita dengan tanpa sadar, telah menjadikan kebenaran itu sendiri sebagai konsep maya yang berlainan dunia dan tidak relevan dengan kehidupan kita. Tidak ada lagi batasan yang jelas antara kebenaran dengan ketidakbenaran. Semuanya mengabur dan membentuk paradigma baru tentang Agama, “agama versi kita”

Saudaraku… bukankah kita dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci? Bukankah masuknya ruh dalam diri kita dengan cara ditiupkan? Semua itu mengindikasikan bahwa esensi dari ruh adalah bentuk manifestasi Tuhan dalam diri setiap manusia, tentu ruh tersebut memiliki kesucian dan kebersihan. Akan tetapi karena ruh tersebut ditiupkan kepada kita yang hidup meruang dan mewaktu, maka ruh kita berpotensi untuk kehilangan esensi kesuciannya. Mari kita coba sejenak untuk melihat realitas yang terjadi di sekitar kita, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya adalah indikator hilangnya fungsi esensial dari ruh kita yang suci. Ketika kita melakukan penindasan kepada yang lemah maka kita telah mengingkari penghambaan kita kepada Tuhan, bukankah yang maha kuat adalah Tuhan? Lalu kenapa kita harus melangkahi Tuhan dengan mencoba menjadi yang kuat?

Satu hal lagi, selama ini Aku sangat jarang melakukan tadabbur dan tafakkur dengan alam ataupun dengan sesama manusia, Aku lebih disibukkan dengan hal-hal yang ku rasa tidak memiliki manfaat bagi diriku dan orang lain. Seringkali muncul tanda tanya dalam benakku, seperti apakah manusia kamil itu? Maka Aku teringat dengan ayat Tuhan “berdustalah orang-orang yang bersembahyang jika dia diam diri ketika melihat orang-orang yang menderita secara sosial di sekitarnya” sangat jelas maksud Tuhan dengan ayat itu. Beragama adalah keseimbangan antara menghamba dengan menjalankan tugas kita sebagai manusia di muka bumi. Aku tidak habis pikir, jika diam diri melihat kaum mustadhafin saja sudah dikatakan tidak menghamba apalagi melakukan penindasan. Tapi kenapa kita masih senantiasa bernafsu untuk melakukan eksploitasi terhadap sesama manusia atau bahkan dengan alam di sekitar kita? Entahlah… aku juga bingung dengan relaitas kehidupan ini, kenapa kesadaran menghamba dan memanusia itu sangat sulit dimiliki oleh kita.

Di akhir risalah ini, Aku berharap kepada semua saudaraku yang sempat menerima dan membaca surat ini, berkenan untuk mengirimkan balasan dan Aku akan kembali membalasnya serta akan Aku gandakan setiap surat yang masuk untuk Aku sebarkan kepada saudara yang lain. Budaya korespondensi seperti ini, menurutku sangat perlu dilakukan. Daripada menghabiskan waktu dengan HP dalam rangka memanfaatkan tawaran murah semua operator celluler, bukankah lebih baik kita berdialektika dalam dunia pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan seperti ini?

Saudaraku, Aku harap kamu tidak merasa terkejut dan terganggu dengan sampainya surat ini di tanganmu, semua ini hanya bentuk kado akhir tahun yang bisa Aku berikan kepadamu, Aku tidak punya cukup uang untuk membelikan bunga atau kartu ucapan sebagai tanda selamat tahun baru buatmu. Aku hanya mampu memberikan dua kertas ini kepadamu. HAPPY NEW YEAR….

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Saudaramu

A. FAWAID

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | Affiliate Network Reviews