BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada dasarnya, Islam lahir sebagai upaya korektif terhadap sejarah yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Penyimpangan tersebut kemudian melahirkan istilah dehumanisasi yang dalam istilah Al-Quran dikatakan sebagai “proses kemusyrikan” (Abdurrahman Moeslim, 2005). Dehumanisasi yang diusung dalam pesan Al-Quran tersebut merupakan kritik terhadap hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, peradaban dan kebudayaan pada masa itu, proses dehumanisasi tersebut telah mengarahkan manusia kepada dunia hampa nilai dan tak berperadaban. Pada kondisi seperti itulah Islam hadir untuk mengoreksi, mengkaji, dan mencari solusi sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Dari penjelasan tersebut, sangat tampak bahwa Islam bukanlah agama Formalis, strukturalis, atau syimbolis yang sangat menyukai ritual sebagai usaha untuk menunjukkan keberagamaan, lebih dari itu, Islam adalah agama nilai, agama yang inklusif dan menyimpan seluruh substansi kehidupan, perjuangan untuk memperbaiki nilai-nilai kemanusiaan yang telah didistorsi oleh sejarah merupakan petunjuk bahwa Islam adalah agama yang mengusung misi nilai dan bukan ritual, karena kecanduan terhadap ibadah ritual yang spekulatif akan membuat sifat-sifat egois melanda manusia, dan ketika manusia sudah melupakan misinya sebagai manusia dan penganut agama, yaitu sebagai pejuang untuk mewujudkan keadilan maka saat itulah akhir dari perjuangan Islam itu sendiri.
Pemahaman terhadap rahmatan lil alamin juga merupakan landasan kenapa Islam harus senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, melupakan ibadah ritual kepada Tuhan merupakan dosa personal manusia dengan Tuhan, namun melupakan ibadah memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan demi mewujudkan kehidupan yang berkeadilan merupakan dosa kolektif manusia, tidak hanya pada Tuhan namun juga dosa kepada manusia lain yang menderita secara sosial, oleh karena itu, orang yang senantiasa bahagia dengan ibadah ritualitas simbolik spekulatif belum tentu memahami keberagamaan yang kaffah.
Selanjuitnya, Misi-misi kemanusiaan tersebut akan membawa manusia untuk saling berusaha mencapai kehidupan yang berkeadilan, kehidupan yang dipenuhi dengan ketenteraman, upaya mencapai masyarakat yang berkeadilan tersebut sebenarnya merupakan tujuan akhir dari misi kemanusiaan itu sendiri, ketika seluruh manusia menyadari pentingnya menghormati nilai kemanusiaan yang dimilikinya dan juga dimiliki orang lain maka pada saat itulah sebenarnya masyarakat yang berkeadilan akan dicapai. Namun ketika misi ini dikaitkan dengan persoalan negara, maka misi ini juga menjadi rumit dan spesifik, kerumitan ini terletak pada kompleksitas dari persoalan keummatan dan kebangsaan yang kadang memaksa umat untuk berfikir menjadikan Islam sebagai Ideologi agar nilai-nilai yang terkandung dalam islam bisa ditransformasikan ke dalam negara, namun apakah usaha ini benar? Bukankah Islam adalah prinsip universal? Islam adalah rahmatan lil alamin? Lalu dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara bukankah akan menyempitkan ajaran Islam itu sendiri, bukankah lebih baik membumikan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam sebagai sistem nilai bagi tingkah laku manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Islam, sebagai ideologi atau sebagai sistem nilai bangsa
2. Bagaimanakah upaya untuk mewujudkan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam, antara Ideologi dan Sistem Nilai
Munculnya perdebatan yang seru soal dasar negara, apakah berdasarkan Islam atau Pancasila, di tanah air. Jelas, hal ini tidak bisa dilepaskan dengan sejarah
Rekonstruksi peran Islam bagi negara memang sangat penting, akan tetapi tetap mempertahankan keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dapat dikatakan kurang bijaksana. Kemungkinan besar -apabila negara ini menggunakan dasar Islam- akan terjadi semacam polemik kebangsaan dan kemasyarakatan, karena bagaimanapun harus diakui bahwa sampai saat ini banyak yang alergi terhadap istilah Islamic State. Penggunaan negara Islam itu juga akan berdampak besar bagi umat Islam itu sendiri, siapkah mereka menjadikan Syariat Islam sebagai dasar negara yang tentunya menuntut konsistensi dari umat Islam, atau malah hanya akan menjadi formalitas kosong belaka yang tentunya akan menambah derita umat Islam secara umum, ditertawakan oleh Barat.
Akhir-akhir ini, isu “negara Islam” memang tidak mengeras lagi, misalnya saja dibandingkan sewaktu Revolusi Islam di Iran baru muncul. Dan kini, isu tersebut telah bergeser menjadi perlunya soal penerapan Syari’at Islam. Jika dalam pemilu pertama, isu “negara Islam” ini mencuat, ternyata dalam pemilu 2004 yang lalu, mengenai syariat ini tidak terlalu santer (Moeslim Abdurrahman, 2005). Partai Keadilan Sejahtera yang mayoritas pendukungnya adalah pemuda-pemuda Islam Militan yang mulanya berasal dari jaringan kampus-kampus, mereka populer dan menang secara mencolok di Jakarta (Hasil Pemilu, 2004) tentu bukanlah karena mengangkat tema “negara Islam” atau Syari’at, namun karena kedekatannya dengan perasaan dan penderitaan yang dialami sehari-hari oleh mereka di kalangan kaum mustadh’afin.
Inilah realitas objektif yang kadang-kadang amat rumit untuk ditebak bagaimana hubungan antara retorik dengan konteks sejarahnya. Tokoh-tokoh masyumi yang merupakan bagian dari lapisan intelektual barat, memperjuangkan demokrasi melalui jargon Islam, sementara beberapa tokoh darul Islam memperjuangkan kepentingan politik daerahnya melawan pusat kekuasaan di jaman Soekarno juga mengatas namakan “negara Islam” (Hassan Hanafi, 2001),
Umat Islam sebagai kelompok mayoritas (87 persen) di
Namun, upaya-upaya penyesuaian ini seharusnya tidak dimaksudkan untuk kepentingan politik penguasa, melainkan untuk mendekatkan konsep demokrasi ini dengan filosofi dan budaya
Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika Islam dipahami sebagai sistem Nilai oleh umatnya, semua tingkah laku masyarakat senantiasa berpegang teguh terhadap nilai-nilai reliigiusitas humanis, sehingga ada upaya untuk menjembatani kondisi realita dengan idealita yang selama ini memang sangat senjang. Dengan adanya upaya untuk mengatasi kesenjangan tersebut, secara lambat laun konsep masyarakat berkeadilan juga akan tercapai, karena pada dasarnya, masyarakat berkeadilan adalah masyarakat yang memiliki kesadaran akan nilai fitrah keberagamaan, substansi kemanusiaan dan esensi kehidupan.
B. Upaya untuk Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Berkeadilan
Sejarah menunjukkan bahwa Masyarakat Indonesia selalu berada dalam lingkaran ketidak adilan, sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia belum pernah sekalipun memberikan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang merata kepada masyarakatnya. Sebaliknya, kesenjangan malah semakin meraja lela, yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya. Pemerintah yang dalam hal ini paling bertanggung-jawab terhadap terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sudah kehilangan kata-kata apologi untuk menutupi kegagalan dalam mengemban tugas sebagai pejuang hak-hak masyarakat.
Jika mau jujur, penyebab dari gagalnya upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadilan selama ini adalah lemahnya pemahaman masyarakat (Pemerintah, Rakyat, pengusaha dll) terhadap nilai-nilai religiusitas substantive yang menjadi misi mulia agama, sehingga terciptalah kehidupan yang dipenuhi dengan budaya tak beradab, kehidupan hampa nilai, dehumanisasi, budaya eksploitasi, tak berperikemanusiaan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Begitu berartinya pemahaman terhadap nilai esensial agama sehingga interpretasi yang benar terhadap fenomena, pegangan nilai serta dinamika agama sangat dibutuhkan demi ditemukannya konsep ideal untuk dipakai sebagai media mencapai masyarakat yang berkeadilan.
Selanjutnya, dilihat dari aspek kebutuhan masyarakat serta dinamika problematis yang melanda masyarakat, maka terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendekatkan kondisi realita masyarakat Indoensia kepada idealita Masyarakat berkeadilan yang merupakan cita-cita utopis kita selama ini. Pertama, internalisasi pemahan keberagamaan yang universal. (Hanafi Hassan, 93, 2001) Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah bukan sibuk membahas agama apakah yang paling benar? atau yang lebih ekstrim lagi, aliran apakah yang paling benar dalam satu agama? Akan tetapi bagaimanakah keberagamaan yang paling benar dan paling bermanfaat bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain? Persoalan inilah sebenarnya yang harus dicari solusinya, apakah keberagamaan kita selama ini sudah sesuai dengan sujbstansi ajaran agama Islam? Jika ia, dimanakah letak substansi keberagamaan kita tersebut? Kenapa selama ini manusia senantiasa memikirkan diri sendiri dan cenderung melupakan orang lain? Pertanyaan ini hanya bisa di jawab ketika nilai-nilai substansi Islam sudah terinternalisasikan ke dalam hati dan prinsip umat. Dari permasalahan tersebut yang kita butuhkan adalah tafsir Islam yang berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan romantis tanpa peka terhadap mata rantai kekuasaan yang eksploitatif. Selama ini, Islamisasi yang terjadi pada kalangan kelas masyakat menengah lebih cenderung terhadap pembentukan kesalehan, kemoderenan dan
Kedua, perlunya pemahaman dan pemaknaan Tauhid Sosial. Abdurrahman Moeslim (2005) menjelaskan bahwa Tauhid Sosial merupakan bagian dari perspektif Islam yang inklusif, di dalamnya terdapat usaha untuk memahami multiculturalism dan pluralism total. Pemahaman terhadap Tauhid Sosial sebenarnya terletak pada pengakuan untuk menghormati pluralitas sosial sebagai imbas dari multikulturalisme bangsa
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam merupakan prinsip kode etik Universal, kebebasan yang diberikan pada umatnya untuk melakukan interpretasi terhadap Islam sesuai dengan konteks kehidupan yang dihadapi umatnya memberikan peluang bahwa Islam dalam hal ini terkait dengan rahmatan lilalamin akan senantiasa relevan bahkan melebihi dinamika zaman. Pekanya Islam terhadap perkembangan zaman pada dasarnya, sangat tergantung pada kepekaan umatnya untuk melakukan analisis fenomena yang kemudian mengkaitkan dengan hasil interpretasi Islam dan kemudian menghasilkan konsep untuk menghadapi konflik kehidupan.
Oleh sebab itu, Islam bukan hanya sekedar Ideologi statis, melainkan sistem nilai yang senantiasa relevan mengikuti perkembangan zaman, merupakan pedoman kehidupan manusia dan tidak harus menjadi landasan sebuah negara, karena hal itu akan menyempitkan makna substansi Islam itu sendiri. Pemahaman terhadap Islam sebagai sistem nilai itu juga harus senantiasa dilakukan oleh umatnya, mengingat kesadaran beragama mutlak dilakukan untuk mendapatkan pemahaman keberagamaan yang benar dan baik sehingga implikasinya adalah terciptanya pribadi umat yang mempunyai idealisme nilai agama yang kuat.
Pemahaman terhadap keberagamaan yang benar tersebut pada akhirnya akan melahirkan keinginan untuk membentuk kehidupan yang berkeadilan, kemudian pemahaman terhadap nilai-nilai sosial kemanusiaan akan memberikan inspirasi untuk terus berjuang melawan ketidak adilan yang diciptakan oleh budaya eksploitatif dan budaya kapitalistik, sehingga pada akhirnya usaha tersebut melahirkan keberagamaan yang memihak, yaitu keberagamaan yang memahami terhadap pentingnya keadilan sosial bagi manusia tanpa harus memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan bahkan agama. Itulah sebenarnya maksud dari tauhid sosial sebagai upaya untuk meluruskan tauhid normative yang cenderung melahirkan budaya sukuisme atau juga budaya egoisme yang pada gilirannya akan melahirkan perang sosial antara manusia.
B. Saran-saran
Keberagamaan yang benar tidak sebatas romantisme ritual spekulatif tapi lebih dari itu, adalah langkah kongkrit untuk berpihak terhadap terwujudnya keadilan bagi orang-orang yang menderita secara sosial, di eksploitasi secara ekonomi, budaya dan bahkan di eksploitasi oleh pemahaman yang salah terhadapa agamanya sendiri, karena “berdustalah mereka yang hanya menikmati bersembahyang, namun melupakan nasib orang-orang yang tersingkirkan dan menderita secara sosial
0 komentar:
Posting Komentar